Demo Blog

Hancurnya kedudukan ilmu pengetahuan & merebaknya generasi Mall

by MembacaMenulisDiskusi on Nov.22, 2009, under


(“Berapa SKS kau ambil bro…,” “ 24 SKS fren…”, “kenapa na banyak sekali…saya kira banyak tugas besar dan lab yang ko ambil”. “mau bagaimana lagi…supaya cepat sarjana dan cepat kerja,”. “sessa ko itu nanti, bisa ji ko pelajari semuanya itu dalam 1 semester kah?”.....)


Inilah sepenggal cerita yang sering kita jumpai akhir-akhir ini, ketika pengambilan KRS dimulai. Saat ini, diantara mereka yang masih kuliah di PTN maupun PTS, ‘Cepat lulus’ memang merupakan kata kunci yang sering dikemukakan oleh mahasiswa sekarang dengan alasan yang bermacam-macam, seperti ingin cepat selesai agar tidak terlalu lama di kampus, atau ingin cepat kerja agar bisa membantu orang tua. Tapi alas an yang paling dominan dan sering muncul adalah biaya kuliah yang mahal dan ingin segara kerja menghasilkan uang. Meskipun demikian, mereka tidak dapat menjawab ketika ditanya, “kalau sudah menghasilkan uang lalu mau buat apa?”. Paling-paling, jawaban yang mereka berikan, “ya, paling tidak bisa mengurangi beban orang tua, kasihan kan orang tua kalau harus susah mencari biaya kuliah?”.
Apa pun alasannya, kecenderungan ingin cepat lulus dari bangku kuliah itu menunjukkan bahwa orientasi belajar sekarang memang lebih ke produk atau hasil akhir dan kurang menghargai proses. Padahal, proses mendapatkan ilmu pengetahuan jauh lebih berharga daripada produk pengetahuan itu sendiri. Tidak ada ilmu yang dapat dipetik begitu saja tanpa melalui proses.
Jika kita melihat orang-orang dulu dengan tradisi mencari guru oleh anak-anak muda yang menginjak dewasa untuk mengisi jiwanya dengan belajar kepada seseorang yang dinilai memiliki ilmu. Ilmu yang mereka cari bukanlah ilmu magis atau sihir, melainkan ilmu yang mereka anggap berguna untuk bekal hidup sebagai petani, seperti ilmu mengusir hama, mengusir bala, bencana, dan sejenisnya. Dalam proses pencarian ilmu itu, mereka melalui berbagai tahapan, seperti puasa senin-kamis selama tujuh kali, puasa mutih (tidak makan garam) ngrowot (hanya makan umbi-umbian dan sayur). Setelah itu pada malam ketujuh tidur dihutan, ilmu yang mereka dapatkan dicoba dulu, membawa kayu bakar yang cukup banyak, lalu setelah sampai dirumah diletakkan dengan cara dibanting, dan masih ada tahap-tahap lainnya.
Tahapan demi tahapan dalam proses berguru itu dijalani secara berurutan satu persatu. Bukan berarti kita harus melakukan metode seperti itu untuk mendapat pengetahuan, tapi nilai yang bisa kita ambil adalah kesediaan menjalani tahapan satu demi satu secara berurutan itu adalah proses mencari ilmu. Jadi, mereka menyakini bahwa ilmu hanya dapat diperoleh setelah melalui proses panjang. Ilmu tidak bisa dikuasai begitu saja secara kilat, bila kita cermati proses berguru anak-anak muda kampung itu cukup memakan waktu panjang, ketekunan, kesabaran, ketabahan, keberanian dan perjuangan berat.
Belajar dari orang dulu yang memiliki kemauan belajar yang kuat walaupun belum mempunyai fasilitas pendidikan seperti sekarang ini membuat kita terkesima, namun ketika melihat anak-anak muda (mahasiswa & pelajar) sekarang selalu ingin serba cepat untuk bisa mendapatkan hasil. Mereka tidak mau melewati semua proses yang panjang dan melelahkan, menuntut ketekunan, kesabaran, kerja keras, apalagi perjuangan. Semua ingin serba cepat ibaratnya sekali seduh langsung jadi. Kalau perlu, tidak usah memakai proses sedikit pun, tapi langsung jadi. Ibaratnya bim salabim, abracadabra, vingardium laviosa, jadilah ilmu dan ijasah yang saya nanti-nantikan untuk bekal mencari uang.
Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus memperlakukan ilmu sebagai proses dan kurang menghargai proses itu, dari hari ke hari semakin kuat. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan dan minuman untuk menyebut mie atau susu, secara tiba-tiba menyeruak masuk menjadi kosakata ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mahasiswa inginnya sekali seduh langsung jadi atau langsung dapat. Padahal kenyataannya ilmu pengetahuan tidak seperti mie atau susu instan yang sekali seduh langsung dapat dinikmati.
Istilah belajar ‘sks’ (system kebut semalam), untuk menunjuk para mahasiswa yang suka belajar dan menyelesaikan tugas semalam suntuk setiap kali mau menghadapi ujian atau deadline tugas, tapi setelah itu tidak belajar dan kerja tugas lagi, merupakan cerminan dari kuatnya budaya instan tadi. Tidak mengherankan bila indeks prestasi mahasiswa tersebut menjadi bagus, tapi penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tidak sesuai dengan tingginya nilai IP. Berdasarkan pengalaman beberapa alumni, mereka yang memiliki IP cukup tinggi, rata-rata system pembelajarannya lebih terfokus pada mekanisme pembahasan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, setelah lulus, meskipun nilai IP mereka tinggi, mereka bingung mencari pekerjaan atau tidak menguasai pengetahuan diluar yang mereka pelajari, apalagi tidak punya pengalaman organisasi, lengkaplah gelar kuper.
Bahkan sejujurnya, pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, tapi sebagai instrument saja, yaitu instrument mencari gelar atau pekerjaan. Tujuan akhir yang ingin dicapai bukan penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan selembar ijasah untuk bekal mencari kerja yang menghasilkan uang. Padahal, belajar di institusi pendidikan formal itu sebetulnya proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak kuper, kritis, punya ideologi yang kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak plin-plan.
Belum lagi salah satu fenomena remaja yang khas dan menonjol yaitu lahirnya generasi mall. Mereka menghabiskan waktunya untuk nongkrong-nongkrong di mall-mall sambil mejeng, gossip dan berfantasi tentang kehidupan serba enak dan nyaman. Tragisnya, gaya hidup remaja mall tidak lagi hanya monopoli kaum muda SMA tapi kalangan intelektual sekelas mahasiswa ikut terkena virus generasi mall. Soalnya, jaringan ekonomi kapitalisme begitu dahsyat melakukan ekspansi pembangunan mall ke berbagai pelosok-pelosok negeri ini. Sungguhpun tidak tersedia data kuantitatif dari hasil pemantauan perkembangan gaya hidup remaja mall, namun bila melihat kenyataannya di lapangan menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Buktinya, walau jumlah mall yang dibangun semakin banyak, tetap saja selalu dipenuhi kaum remaja yang mejeng (baca: tebar pesona) dengan tujuan yang beragam. Generasi mall kemudian diikuti dengan generasi handphone, yaitu kecendrungan remaja untuk berhaha-ria dengan HP (handphone). Meskipun kondisi ekonomi orang tua sedang krisis, jumlah mereka tetap makin banyak, bahkan cenderung meningkat.
Akibat dari kehadiran generasi ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di kalangan remaja sekaligus lahirnya budaya mall; suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall; pakaian serba ketat, pocci-pocci, distro (baca:mahal), trendi, suka yang serba instan dan mengembangkan bahasa gaul yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Ini konsekuensi logis dari berkembangnya budaya kapitalisme yang serba bebas; sekaligus pencitraan baru, dimana pakaian tidak lagi dilihat secara fungsional, tapi lebih dimaknai pada nilai simboliknya (merek atau harga). Demikian juga pemakaian pada produk lain, seperti HP dan Jam tangan, sebetulnya lebih merupakan simbol modern. HP yang oleh perancangnya dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi bagi orang-orang yang sibuk sehingga tidak tentu berada dalam satu tempat yang tetap. Oleh remaja dimaknai sebagai kemodernan, lihat saja banyak HP yang lebih berfungsi sebagai mp3 atau camera dibandingkan komunikasi, itupun jika dipakai komunikasi hanya sms-an atau chat FB yang buang-buang pulsa saja seperti saling ‘gombal’ sampe larut malam. Jam tangan mahal-mahal, tapi datang kuliah atau rapat sering terlambat, kemana-mana bawa HP tapi selalu ingkar janji tanpa memberi keterangan (apalagi kalau disuruh datang rapat).
Inilah kondisi kemahasiswaan kita, sebagai orang yang hidup dizaman sekarang ini tidak sepantasnya kita berdiam diri. Para pendidik kita wajib untuk memikirkan sistem baru untuk membendung bahkan menghilangkan budaya hedonisme ini. Sebagai lembaga kader, hal ini merupakan tantangan besar bagi dept. Pengkaderan untuk melakukan revitalisasi budaya intellectual dan ilmiah mahasiswa dengan mentransformasikan & kristalisasi ideologi ditubuh kader lembaga. (DS)
REVITALISASI PARADIGMA PENGKADERAN MENUJU BUDAYA INTELEKTUAL DAN ILMIAH
0 komentar more...

0 komentar

Posting Komentar

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!

Links