Demo Blog

Tawuran Mahasiswa yang Menjadi Prestasi kami

by MembacaMenulisDiskusi on Nov.22, 2009, under


Agenda mahasiswa ‘preman’ kembali menjadi tajuk utama setiap media massa. eksperimen ‘hujan meteor’ buatan mahasiswa menjadi perbincangan civitas akademika maupun masyarakat. Memiliki status mahasiswa yang selalu menjadi impian para pemuda ini ternyata memang menarik. Begitu banyak perubahan yang terjadi seiring perkembangan zaman. Mungkin kita pernah mendengar cerita-cerita dari mahasiswa-mahasiswa terdahulu. Jadi mahasiswa itu cap intelek, pinter, cerdas, dan kritis. Apalagi melihat aksi reformasi tahun ’98 lalu, penggeraknya kan mahasiswa (bukan preman). Pokoknya, mahasiswa itu dianggap makhluk yang istimewa dan pahlawan, khususnya di Indonesia. Mahasiswa, menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Perubahan Sosial”, adalah the one and only efficient opposant in the world (satu-satunya pengemban amanah oposan yang paling efisien didunia). Kenapa demikian? Sebab, mahasiswa memiliki idealisme tinggi, semangat merealisasikan tujuan perjuangan serta punya kesiapan dan pengorbanan untuk mewujudkannya. Jika semua ini lekat dalam seorang mahasiswa, dialah mahasiswa sejati.

Namun maaf saja, itu semua hanya mahasiswa zaman kuno. Mahasiswa dizaman modern lebih maju lagi. Dalam pengembangan diri, kami lebih memilih menggunakan otot dibandingkan dengan otak. Jadi jangan heran ketika begitu banyak pengkaderan-pengakderan yang memakan korban, mulai dari cedera psikologi sampai cedera fisik. Hal itu adalah bagian perubahan yang kami lakukan untuk menciptakan tatanan sosial yang baru. Segi intelektual & spiritual kami kikis secara perlahan-lahan. Setelah sukses dengan agenda hura-hura & hedonisme, saat ini ‘ekskul tawuran’ sedang dipropagandakan agar menjadi gaya hidup, untuk itu jangan heran kalau kegiatan tawuran makin hari makin meningkat.

Dalam setiap pengkaderan kami menanamkan di kepala MABA bahwa fakultas A, B, C & D itu adalah musuh dengan sedikit mendramatisir kejadian yang telah dilakukan para pendahulu. Jadilah kami memiliki massa yang setiap saat bisa diprovokasi & digerakkan untuk melakukan eksperimen hujan meteor. Cukup dengan ketukkan ditiang besi maka bermuncullah dari setiap sudut orang untuk berkumpul di ‘jalur gaza’. Permusuhan antara fakultas menjadi pembicaraan yang selalu kami jejali dikepala mahasiswa walaupun tanpa ada alas an yang logis apa landasannya. Cukup dengan menceritakan kejadian-kejadian terdahulu yang tidak ada sangkut pautnya dengan mahasiswa zaman sekarang. Bahkan walaupun itu cuma masalah pribadi pasti akan kami jadikan alat untuk mengaplikasikan ide-ide kami.

Dilain sisi bagi sebagian orang mungkin memiriskan hati, jika melihat bagaimana mahasiswa telah mengalami metamorfosis sedikit demi sedikit namun pasti. Pergerakan yang dahulu suci dibalut dengan kentalnya nuansa intelektual, ternyata saat ini lambat laun berubah menjadi aksi anarkis yang tak lagi mengedepankan nalar positif. Mengatasi berbagai permasalahan dengan otot dianggap lebih rasional ketimbang menyelesaikannya dengan otak. Komunitas mahasiswa yang dianggap sebagai komunitas orang “berotak encer” yang memiliki tingkat intelektualitas diatas rata-rata ternyata melakoni episode yang mereka beri judul sebagai “perjuangan menuju perubahan” namun dalam skenarionya disisipi noda hitam kekerasan, ketika kontraksi otot mengalahkan logika akal sehat. Namun itu hanya pandangan minoritas. Dalam dunia demokrasi ‘kebenaran’ itu ditentukan oleh mayoritas. Ketika mayoritas berpandangan bahwa alkohol itu baik tentu saja sah-sah saja kita menjualnya, ketika mayoritas berpandangan tawuran itu baik maka sah-sah saja untuk melakukannya.

Pengorbanan yang kami dapat dari tawuran tidak seberapa parah dibandingkan dengan ‘prestasi semu’ yang ingin kami capai. Dari yang cedera ringan seperti kepala bocor, gigi patah, gusi berdarah & sariawan hingga cedera berat. Namun kami cukup puas dan terhibur apalagi berhasil memukul mundur lawan kami, cukuplah bagi kami memiliki pengalaman & romantisme tawuran untuk diceritakan pada generasi berikutnya. Sekalian tempat melampiaskan rasa stress akibat tugas yang menumpuk. Fasilitas kampus yang rusak tidak kami pedulikan, untuk apa memikirkan semua itu. Otak kami sudah terlalu tumpul untuk berpikir. Kemampuan otak Patrick Star hampir setara dengan kami hanya saja kebodohan Patrick membuat orang tertawa dibandingkan kami yang membuat kesal birokrat kampus dan alumni yang sedang mencari kerja. Peduli setan dengan hal seperti itu ‘mereka’ lah yang mengajarkan & mencontohkannya.

Tapi masih ada saja sebagian mahasiswa (minoritas ini nah) yang selalu mengajak mahasiswa untuk melakukan perbaikan dengan mengkonsepkan model kebudayaan yang lebih humanis. Namun, Kami opinikan kepada khalayak bahwa mereka akan merusak ‘kultur’ organisasi, tidak punya solidaritas, loyalitas, dll. Mahasiswa ini selalu mengingatkan bahwa mahasiswa itu adalah Agent of change, moral force & sosial of control. Namun kami membantahnya dengan mengatakan itu hanya kerjaan mahasiswa pergerakan alias pergerakan mahasiswa berbasis ideologi. Bagi kami saatnya paradigma ‘basi’ itu dirubah dengan membuat slogan baru yaitu mahasiswa adalah Agent of Chaos, Amoral Force & Asosial control.

Bagi yang sepakat dengan ‘ekskul tawuran’ teruslah bergerak, ajak dan dongengkan terus dikepala generasi berikutnya agar kegiatan ini bisa dilaksanakan lebih besar lagi. Dari sekedar lempar batu bisa berkembang menjadi lempar bom Molotov, dari hujan batu menjadi hujan panah, dari memukul pakai bambu menjadi pakai parang atau samurai. Intinya mari kita bergerak dari tawuran ke perang. Simulasi & persiapan di sekret-sekret mari kita galakkan. Perlihatkan sejumlah senjata yang telah kalian persiapkan dibunker-bunker & tempat lainnya untuk menambah semangat dan militansi generasi anda. Katakan pada mereka bahwa aktivitas ini adalah bukti solidaritas & loyalitas anda pada lembaga. Ha..ha..ha…inilah ekspresi yang mungkin didapatkan ketika para mahasiswa sudah saling melempar & menghujat.

Entah dari mana pertanyaan yang sedikit mengkhawatirkan kami. Beberapa hari setelah tawuran tersebut, segelintir mahasiswa baru atau mahasiswa yang masih sempat berpikir sejenak bertanya pada kami “ka’ kenapa begitu banyak media massa yang menilai bahwa kampus ini buruk akibat adanya tawuran. Padahal ‘kita’ bilang itu adalah bukti solidaritas dan patut kita laksanakan sebagai bentuk loyalitas terhadap lembaga” sang senior sedikit kaget dan menjawab “Begitulah media selalu saja menjelek-jelek kan fakultasmu de’, kemarin saja kita punya prestasi dengan menjuarai lomba karya ilmiah tidak pernah diliput media”. Sang Maba ber”Ooo…” ria. Jelaslah citra kampus anda tetap jelek, ibarat cat hitam 100 kg dicampur dengan cat putih 1 gr dan berharap warnanya menjadi warna putih. Prestasi yang hanya dilakukan oleh 4-5 orang mau ditutupi dengan tawuran yang melibatkan 200-300 orang dengan intensitas setahun bisa sampai 2-3 kali . Tapi untung saja maba itu tidak mampu berpikir terlalu jauh, itulah guna dari pengkaderan kami yang berbasis kekerasan psikologi & fisik dibandingkan pembinaan intelektual agar semua ‘omong kosong’ kami bisa diterima.

Masyarakat luar kampus boleh beranggapan bahwa yang kami lakukan sungguh jauh dari akal manusia. Tapi kami disini begitu menikmatinya, bersendau gura dan menceritakan kembali tawuran yang dilakukan sungguh menarik. Masyarakat kampus sudah terbiasa dengan hal ini dan tidak ada yang aneh, kalau pun ada yang sinis dan mengecam itu hanya sikap kemunafikan saja. Buktinya setiap tawuran para civitas academika menikmatinya layaknya acara hiburan. Lihat saja lantai-lantai gedung bertengger manusia baik itu mahasiswa, dosen maupun birokrat kampus untuk dijadikan tontonan menarik namun ada juga yang prihatin. Tapi entah kenapa mereka ini hanya bisa menonton saja, tidak ada upaya untuk menghalangi atau mengingatkan kami. Padahal Ketika diruang kuliah mereka mampu membuat kami tunduk dan patuh terhadap segala macam perintahnya. Apakah mungkin bimbingan yang diberikan hanya sebatas ruang kuliah saja? entahlah mungkin cuma Tuhan yang menciptakan alam semesta yang tahu.

Hanya satpam dan beberapa pejabat birokrat bagian kemahasiswaan saja yang mencoba menghalangi itupun tidak kami hiraukan karena sejak awal pengkaderan kami dibimbing & membimbing untuk membenci satpam tersebut. Kami merasa bebas untuk berbuat dan bertingkah laku tanpa ada rasa takut terhadap petugas yang mencoba menindaki kebebasan kami yang menggangu orang lain ini. Kebebasan yang digemborkan-gemborkan oleh kaum berpaham liberal membuat kami tidak peduli & takut terhadap ancaman apapun. Termasuk didalamnya takut kepada Sang pencipta Alam semesta ini. Negara kita saja tidak mau taat & patuh terhadap Aturan yang diturunkan Tuhan, realitas ini mengajarkan kami bahwa tidak perlu tunduk & patuh kepada Tuhan pencipta Alam. Ketuhanan & moral yang diajarkan oleh lembaga pendidikan Negara tidak mampu memberikan kedewasaan kepada kami. Jadi jangan heran kalau pemahaman itu tidak bisa menjadi pedoman hidup karena kami menganggap itu semua hanya ‘omong kosong’ saja & tidak ada landasan kebenarannya. Mau bukti, Coba perhatikan saat anda mempelajari pelajaran agama dikatakan Tuhan itu hanya satu yaitu Allah Swt & agama yang benar itu Cuma Islam. Namun dipelajaran pancasila diajarkan bahwa agama yang benar itu ada 6 (enam). Pusing nich…mau jawab apa nanti kalau ujian final terpaksa saya harus munafik. Pada saat ujian agama saya menjawab hanya Islam lah ajaran benar dan saat final pancasila saya menjawab semua agama ‘benar’ yang kebenarannya ditentukan oleh suara terbanyak kemudian ditetapkan oleh ‘katanya’ perwakilan rakyat . Masih banyak lagi kemunafikan yang diajarkan bangsa ini, katanya miras, zina, riba itu haram tapi difasilitasi oleh Negara. Sekali lagi tidak usah heran dengan kekacauan Negara ini apalagi sok-sok bicara ajaran moral.

Sebenarnya dalam hati kecil ini masih tersimpan sedikit rasa bersalah, akan tetapi ego ini lebih besar ditambah rayuan setan yang kuat membuat kami ‘tuli’ terhadap suara hati nurani yang terus berteriak-teriak. Mudah-mudahan saja hati nurani ini tidak menjadi bisu sehingga sirnalah harapan kami untuk kembali ke jalan yang lurus. Para ahli psikologi menilai bahwa tawuran sering terjadi karena para anak muda ini punya energi yang cukup besar untuk membela atau mempertahankan sesuatu, hanya saja mereka bingung energi yang besar ini mau dikemanakan. Sehingga semangat muda yang menggebu-gebu ini kebanyakan tersalurkan dalam kegiatan tawuran. Pernah saya mendengar diskusi di salah satu sudut kampus yang membicarakan bagaimana pada zaman kekhilafahan Islam semangat pemuda disalurkan dalam bentuk jihad. Ketika ada kaum penjajah yang menyerang atau ada daerah yang akan dibebaskan para pemuda ini menjadi garda terdepan. Mereka belajar ilmu silat, persenjataan, ilmu alam, dll untuk menyebarkan & membela Islam. Beda dengan zaman sekarang para pemuda melatih olahraga & ilmu bela diri (termasuk menembak) hanya untuk dijadikan ajang lomba semata alias mengejar popularitas individu. Dilain sisi saudara mereka dibantai dipalestina tapi penguasa Negara lebih memilih menyalurkan potensi pemuda ini hanya untuk merebut keping-keping logam. Seandainya saja semangat pemuda ini disalurkan membebaskan daerah-daerah terjajah.

Bagi rekan-rekan media massa tidak perlu lagi untuk mengekspos lagi tawuran kami. Kalau dalam istilah jurnalistik ‘bad news it’s good news’ dan mungkin perbuatan ‘bad’ kami bisa menjadi ‘good news’ bagi anda. Namun dunia sudah berubah, jika mahasiswa yang tawuran itu hal yang biasa tapi jika tukang becak yang tawuran itu baru yang luar biasa. Jadi berhentilah meliput tawuran kami, saya kira anda cukup paham.
0 komentar more...

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!

Links